Kisah nyata seorang gadis cilik bernama Gita Sesa Wanda
Cantika yang biasa dipanggil Keke ini menggerakkan hati seorang penulis – Agnes
Davonar – untuk mengangkat kisahnya ke dalam sebuah novel yang berjudul Surat
Kecil untuk Tuhan.
Keke berusia 13 tahun dan hidupnya tampak sempurna, disayang oleh orang tua dan dua orang kakak lelakinya dalam kondisi keuangan keluarga yang berkecukupan, serta memiliki enam sahabat dekat yang kompak dan kekasih bernama Andy (Esa Sigit).
Namun ternyata berita sedih harus diterima Keke, ternyata ia mengidap penyakit yang disebut Rhabdomyosarcoma (kanker jaringan lunak) dan sudah berada di stadium 3. Keke adalah pasien pertama di Indonesia dan dokter menyatakan bahwa usianya tinggal beberapa bulan lagi. Tapi ayah Keke tak menyerah, Keke pun harus menjalani tindakan kemotrapi hampir selama setahun yang membuat rambut Keke rontok, kulit kering dan ia sering merasa perutnya mual. Keke tampak buruk sekali, kecantikannya hilang. Keke sering mimisan, sulit bernapas dan matanya memerah lalu berair dan lama kelamaan ada benjolan yang semakin hari semakin besar di bawah kelopak mata bagian kiri. Walau begitu, ia tetap ingin ikut ujian sekolah. Bu Megawati sampai memberinya peringkat sebagai ‘Siswi Teladan’.
Ketabahan dan kesebaran Keke mendapat hadiahnya, karena dokter akhirnya menyatakan Keke sembuh dan dapat beraktivitas seperti biasa. Namun entah mengapa, kanker kembali menyerang lebih parah setahun berikutny. Keke tahu ia makin lemah, tapi Keke tak ingin tampak kalah, dan ia berusaha selalu tegar dan gigih melawan penyakitnya demi keluarga yang dicintainya dan sahabat-sahabatnya yang setia.
Awalnya novel tersebut bisa dibaca gratis di internet dan telah dibaca oleh 350.000 pengunjung web, maka dicetaklah buku ini dan terjual laris lebih dari 30.000 eksemplar. Buku ini pun telah diterjemahkan dalam bahasa lain dan juga terkenal di Taiwan. Hidup dan perjuangan Keke melawan kanker pun pernah dibahas dalam acara televisi Kick Andy. Jangan lupa bawa tissue atau sapu tangan.
Keke berusia 13 tahun dan hidupnya tampak sempurna, disayang oleh orang tua dan dua orang kakak lelakinya dalam kondisi keuangan keluarga yang berkecukupan, serta memiliki enam sahabat dekat yang kompak dan kekasih bernama Andy (Esa Sigit).
Namun ternyata berita sedih harus diterima Keke, ternyata ia mengidap penyakit yang disebut Rhabdomyosarcoma (kanker jaringan lunak) dan sudah berada di stadium 3. Keke adalah pasien pertama di Indonesia dan dokter menyatakan bahwa usianya tinggal beberapa bulan lagi. Tapi ayah Keke tak menyerah, Keke pun harus menjalani tindakan kemotrapi hampir selama setahun yang membuat rambut Keke rontok, kulit kering dan ia sering merasa perutnya mual. Keke tampak buruk sekali, kecantikannya hilang. Keke sering mimisan, sulit bernapas dan matanya memerah lalu berair dan lama kelamaan ada benjolan yang semakin hari semakin besar di bawah kelopak mata bagian kiri. Walau begitu, ia tetap ingin ikut ujian sekolah. Bu Megawati sampai memberinya peringkat sebagai ‘Siswi Teladan’.
Ketabahan dan kesebaran Keke mendapat hadiahnya, karena dokter akhirnya menyatakan Keke sembuh dan dapat beraktivitas seperti biasa. Namun entah mengapa, kanker kembali menyerang lebih parah setahun berikutny. Keke tahu ia makin lemah, tapi Keke tak ingin tampak kalah, dan ia berusaha selalu tegar dan gigih melawan penyakitnya demi keluarga yang dicintainya dan sahabat-sahabatnya yang setia.
Awalnya novel tersebut bisa dibaca gratis di internet dan telah dibaca oleh 350.000 pengunjung web, maka dicetaklah buku ini dan terjual laris lebih dari 30.000 eksemplar. Buku ini pun telah diterjemahkan dalam bahasa lain dan juga terkenal di Taiwan. Hidup dan perjuangan Keke melawan kanker pun pernah dibahas dalam acara televisi Kick Andy. Jangan lupa bawa tissue atau sapu tangan.
MIMPI memiliki kekuatan luar biasa. Merry Riana telah membuktikannya.
Ibu satu satu anak berusia 31 tahun itu telah mewujudkan mimpi menghasilkan
satu juta dollar di usia 20-an tahun. Sarjana Teknik Elektro Nanyang
Technological University, Singapura, ini berhasil meraih mimpi itu sebelum
menginjak usia 26 tahun.
Bagi sebagian orang mimpi Merry terasa muluk. Kepada metrotvnews.com, Merry membagi kunci atau rahasia keberhasillanya. Sederhana saja, ternyata semua itu terwujud karena satu hal: mimpi. "Berani bermimpi dulu. Karena saya anak muda jadi saya punya lebih banyak energi untuk berkarya. Karena saya mahasiswa, maka saya punya lebih banyak kesempatan sukses. Bukan saya hanya, tapi karena saya. Jadi, saya berhak memperjuangkan impian," kata Merry saat ditemui usai acara "8-11 Show" di Studio Metro TV, Jakarta Barat, Rabu (25/10).
Merry menyadari impiannya ketika berulang tahun ke-20. Hidup di negeri orang dengan hidup serba pas-pasan membawa perempuan kelahiran Jakarta, 29 Mei 1980, itu pada fase lain kehidupannya. "Suatu saat saya berada di titik terendah hidup saya. Saya bertanya-tanya kenapa hidup ini tidak adil, saya harus hidup jauh dari orang tua, susah-susah, sampai kapan lagi saya harus hidup seperti ini?" Merry "terdampar" di Singapura karena kedua orang tuanya, Suanto Sosrosaputro (62) dan Lynda Sanian (62), tak ingin anaknya itu jadi korban rusuh 1998.
Merry mendapat semangat baru. "Ini hidup saya, kalau bukan saya yang merencanakannya, siapa lagi? Karena itu saya harus pro-aktif. Caranya ya itu, ketika ulang tahun saya yang ke-20 saya berjanji saya punya mimpi sebelum saya berusia 30 saya sudah harus punya kebebasan finansial. Harus bisa bayar utang-utang pendidikan saya, bisa membahagiakan orang tua, bisa sukses juga walaupun di negeri orang," kata Merry.
Saat kuliah di Singapura, dengan uang saku hanya 10 dollar per minggu, Merry harus superhemat. Untuk makan ia lebih sering makan roti atau mi instan, atau bahkan berpuasa. Tanpa bekal dana memadai, Merry meminjam dana dari Pemerintah Singapura. Tak hanya untuk biaya kuliah, tetapi juga buat hidup sehari-hari. Total utangnya 40.000 dollar Singapura.
Semula, Merry sendiri sempat berpikir impian hanyalah slogan kering. Tapi setelah mengalami sendiri, ia mengubah pendapat itu. Menurut Merry, punya impian itu penting karena bisa menjadi bekal meraih sukses. "Menurut saya (mimpi itu) penting karena titik awal keberhasilan adalah impian. Banyak orang tidak menyadari sebenarnya mimpi itu punya kekuatan yang sangat besar dan itu kekuatan yang diperlukan seseorang untuk maju dan mengubah kehidupannya," kata penulis buku "A Gift From A Friend" itu.
Tak semua anak muda bisa mematok impian di usia 20 tahun seperti Merry. Pada usia itu kebanyakan anak muda suka bersenang-senang dan belum menemukan keyakinan atas apa yang ingin diraihnya. Itu terjadi, kata Merry, karena karena mereka hidup biasa: nggak seneng-seneng amat, tapi juga nggak susah-susah amat. Saat duduk di bangku SMA, Merry juga tidak tahu mau jadi apa. Semua berubah ketika ia jauh dari orangtua dan hidup di Singapura.
Merry menyarankan, anak muda tak perlu susah dahulu baru punya mimpi. Resepnya, "Hilangkan kata "Saya hanya". Banyak sekali anak muda yang pakai "Saya Hanya". Ah saya hanya mahasiswa, saya hanya anak muda, ngapain punya mimpi besar-besar? Saya, kan hanya ibu rumah tangga. Dengan menghilangkan kata "Saya Hanya" dan berpikir bahwa kita semua punya talenta luar biasa dan punya nasib yang harus kita bener-bener berusaha agar impian itu dapat terwujud. Semoga dengan itu mereka dapat terbangkit."
Menurut Merry, dari hal-hal biasa yang dibawa fun bukan tidak mungkin seseorang bisa mendapatkan ide tentang impian yang ingin dicapainya. Setelah mempunyai impian, hal yang harus dilakukan adalah mengejar impian. Merry menyadari impian seseorang bukan tak mungkin mendapat tentangan dari lingkungan. Ia bisa dicemooh dan dibuat patah semangat justru oleh orang-orang terdekatnya. Apa kiat Merry tetap melaju bersama impiannya?
"Saya yakin inilah mimpi saya. Kalau orang lain nggak percaya, at least saya sendiri yang percaya, saya ingin mewujudkannya. Akhirnya saya terus maju. Kita harus membuat diri kita berada di lingkungan yang positif. Bukan berarti saya menjauhi orang tua dan teman-teman saya, mereka tetap orang tua dan teman-teman saya. Tapi selain itu, dalam 24 jam keseharian saya, saya baca buku yang positif, denger lagu yang positif, supaya itu tetap membangun semangat saya dan tidak mematahkan semangat. Tapi, memang benar lingkungan sangat berpengaruh," ceritanya.
Menurut Merry untuk membuktikan kesungguhan mimpinya, seseorang tak perlu menunggu sukses. Pembuktian itu bisa diperlihatkan mulai dari hal-hal kecil yang seringkali justru dianggap remeh. "Banyak orang tidak mau mengerjakan hal yang kecil karena berpikir hal kecil tidak akan nyambung ke hal besar. Padahal, sebenarnya hal kecil kalau kita lanjutkan terus, itu bisa aja membawa kita ke sesuatu yang besar. Jadi, selain kita yakin, kita juga perlu mengambil tindakan. Tidak perlu tindakan yang besar, yang kecil saja pun sebenarnya sudah cukup," jelasnya.
Merry sempat jatuh bangun dan gagal. Dia pernah menyebar brosur di jalanan dengan bayaran rendah, merugi, dan tertipu saat menjalankan bisnis. Menurut Merry, kegagalan harus diantisipasi. "Kita harus sudah tau dalam perjalanan menuju kesuksesan pasti harus melewati kegagalan. Kalau kita sudah mengantisipasi, kita akan lebih memaklumi. Dalam prinsip saya, lebih baik saya gagal dalam perjuangan meraih cita-cita, daripada saya gagal tanpa pernah tahu rasanya berjuang. Jadi it's okay kalau saya gagal, saya bisa belajar dari prosesnya. Jangan pernah takut gagal," kata Merry mantap.
Dalam resolusi ulang tahunnya yang ke-30 lalu, Merry menceritakan impian terbesarnya yang lain. Yaitu memberi pengaruh positif pada kehidupan setidaknya satu juta orang, terutama di Asia. Karenanya, perempuan yang sekarang lebih banyak tinggal di Singapura itu tak pelit berbagi ilmu dan motivasi. Bahkan, untuk membagikan pengalamannya, Alberthiene Endah telah menuliskan kisah Merry dalam sebuah buku berjudul "Mimpi Sejuta Dolar". (*****)
Bagi sebagian orang mimpi Merry terasa muluk. Kepada metrotvnews.com, Merry membagi kunci atau rahasia keberhasillanya. Sederhana saja, ternyata semua itu terwujud karena satu hal: mimpi. "Berani bermimpi dulu. Karena saya anak muda jadi saya punya lebih banyak energi untuk berkarya. Karena saya mahasiswa, maka saya punya lebih banyak kesempatan sukses. Bukan saya hanya, tapi karena saya. Jadi, saya berhak memperjuangkan impian," kata Merry saat ditemui usai acara "8-11 Show" di Studio Metro TV, Jakarta Barat, Rabu (25/10).
Merry menyadari impiannya ketika berulang tahun ke-20. Hidup di negeri orang dengan hidup serba pas-pasan membawa perempuan kelahiran Jakarta, 29 Mei 1980, itu pada fase lain kehidupannya. "Suatu saat saya berada di titik terendah hidup saya. Saya bertanya-tanya kenapa hidup ini tidak adil, saya harus hidup jauh dari orang tua, susah-susah, sampai kapan lagi saya harus hidup seperti ini?" Merry "terdampar" di Singapura karena kedua orang tuanya, Suanto Sosrosaputro (62) dan Lynda Sanian (62), tak ingin anaknya itu jadi korban rusuh 1998.
Merry mendapat semangat baru. "Ini hidup saya, kalau bukan saya yang merencanakannya, siapa lagi? Karena itu saya harus pro-aktif. Caranya ya itu, ketika ulang tahun saya yang ke-20 saya berjanji saya punya mimpi sebelum saya berusia 30 saya sudah harus punya kebebasan finansial. Harus bisa bayar utang-utang pendidikan saya, bisa membahagiakan orang tua, bisa sukses juga walaupun di negeri orang," kata Merry.
Saat kuliah di Singapura, dengan uang saku hanya 10 dollar per minggu, Merry harus superhemat. Untuk makan ia lebih sering makan roti atau mi instan, atau bahkan berpuasa. Tanpa bekal dana memadai, Merry meminjam dana dari Pemerintah Singapura. Tak hanya untuk biaya kuliah, tetapi juga buat hidup sehari-hari. Total utangnya 40.000 dollar Singapura.
Semula, Merry sendiri sempat berpikir impian hanyalah slogan kering. Tapi setelah mengalami sendiri, ia mengubah pendapat itu. Menurut Merry, punya impian itu penting karena bisa menjadi bekal meraih sukses. "Menurut saya (mimpi itu) penting karena titik awal keberhasilan adalah impian. Banyak orang tidak menyadari sebenarnya mimpi itu punya kekuatan yang sangat besar dan itu kekuatan yang diperlukan seseorang untuk maju dan mengubah kehidupannya," kata penulis buku "A Gift From A Friend" itu.
Tak semua anak muda bisa mematok impian di usia 20 tahun seperti Merry. Pada usia itu kebanyakan anak muda suka bersenang-senang dan belum menemukan keyakinan atas apa yang ingin diraihnya. Itu terjadi, kata Merry, karena karena mereka hidup biasa: nggak seneng-seneng amat, tapi juga nggak susah-susah amat. Saat duduk di bangku SMA, Merry juga tidak tahu mau jadi apa. Semua berubah ketika ia jauh dari orangtua dan hidup di Singapura.
Merry menyarankan, anak muda tak perlu susah dahulu baru punya mimpi. Resepnya, "Hilangkan kata "Saya hanya". Banyak sekali anak muda yang pakai "Saya Hanya". Ah saya hanya mahasiswa, saya hanya anak muda, ngapain punya mimpi besar-besar? Saya, kan hanya ibu rumah tangga. Dengan menghilangkan kata "Saya Hanya" dan berpikir bahwa kita semua punya talenta luar biasa dan punya nasib yang harus kita bener-bener berusaha agar impian itu dapat terwujud. Semoga dengan itu mereka dapat terbangkit."
Menurut Merry, dari hal-hal biasa yang dibawa fun bukan tidak mungkin seseorang bisa mendapatkan ide tentang impian yang ingin dicapainya. Setelah mempunyai impian, hal yang harus dilakukan adalah mengejar impian. Merry menyadari impian seseorang bukan tak mungkin mendapat tentangan dari lingkungan. Ia bisa dicemooh dan dibuat patah semangat justru oleh orang-orang terdekatnya. Apa kiat Merry tetap melaju bersama impiannya?
"Saya yakin inilah mimpi saya. Kalau orang lain nggak percaya, at least saya sendiri yang percaya, saya ingin mewujudkannya. Akhirnya saya terus maju. Kita harus membuat diri kita berada di lingkungan yang positif. Bukan berarti saya menjauhi orang tua dan teman-teman saya, mereka tetap orang tua dan teman-teman saya. Tapi selain itu, dalam 24 jam keseharian saya, saya baca buku yang positif, denger lagu yang positif, supaya itu tetap membangun semangat saya dan tidak mematahkan semangat. Tapi, memang benar lingkungan sangat berpengaruh," ceritanya.
Menurut Merry untuk membuktikan kesungguhan mimpinya, seseorang tak perlu menunggu sukses. Pembuktian itu bisa diperlihatkan mulai dari hal-hal kecil yang seringkali justru dianggap remeh. "Banyak orang tidak mau mengerjakan hal yang kecil karena berpikir hal kecil tidak akan nyambung ke hal besar. Padahal, sebenarnya hal kecil kalau kita lanjutkan terus, itu bisa aja membawa kita ke sesuatu yang besar. Jadi, selain kita yakin, kita juga perlu mengambil tindakan. Tidak perlu tindakan yang besar, yang kecil saja pun sebenarnya sudah cukup," jelasnya.
Merry sempat jatuh bangun dan gagal. Dia pernah menyebar brosur di jalanan dengan bayaran rendah, merugi, dan tertipu saat menjalankan bisnis. Menurut Merry, kegagalan harus diantisipasi. "Kita harus sudah tau dalam perjalanan menuju kesuksesan pasti harus melewati kegagalan. Kalau kita sudah mengantisipasi, kita akan lebih memaklumi. Dalam prinsip saya, lebih baik saya gagal dalam perjuangan meraih cita-cita, daripada saya gagal tanpa pernah tahu rasanya berjuang. Jadi it's okay kalau saya gagal, saya bisa belajar dari prosesnya. Jangan pernah takut gagal," kata Merry mantap.
Dalam resolusi ulang tahunnya yang ke-30 lalu, Merry menceritakan impian terbesarnya yang lain. Yaitu memberi pengaruh positif pada kehidupan setidaknya satu juta orang, terutama di Asia. Karenanya, perempuan yang sekarang lebih banyak tinggal di Singapura itu tak pelit berbagi ilmu dan motivasi. Bahkan, untuk membagikan pengalamannya, Alberthiene Endah telah menuliskan kisah Merry dalam sebuah buku berjudul "Mimpi Sejuta Dolar". (*****)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar